Capek ditanya ‘Kapan’

Menghadapi Pertanyaan ‘Kapan?’

Semenjak aku menginjak umur duapuluh tahun, kata ‘Kapan’ adalah salah satu kata yang paling sering aku dengar. Tidak harus orangtua, teman, bahkan office boy ataupun orang tidak dikenal pun berani menyebutkan kata ini kepadaku. Mungkin kalau sekali-dua kali diucapkan, kita masih dapat menjawabnya dengan senyuman atau meringis, namun setelah sekian banyak kali mendengarnya, tubuh kita pun sudah bermanifestasi untuk menjawab pertanyaan ini. Saat ini bila ada pertanyaan ‘Kapan?’, self defense dari otakku langsung merancang semua scenario, dimulai dari bibir yang tersenyum, mata yang pura-pura meyakinkan, dan gesture tangan dan badan yang menunjukkan keyakinan dan optimisme, lalu menjawab pertanyaan ‘kapan’ itu. Begitu bosannya mendengar kata ‘kapan’ sampai begitu seringnya mengucapkan kalimat jawaban yang itu-itu terus.

“Eitsss.. Emang ini ngomongin ‘kapan’ apa sih? Kok segitu antipatinya?” Terdengar aneh sebenarnya, betapa masyarakat jaman sekarang, terutama anak muda sebegitu antipatinya mendengar kata ‘Kapan’. Bahkan dulu ada iklan tentang sepasang kekasih, yang dimulai dari mereka berpacaran sampai mereka punya anak, ditanya ‘Kapan’ terus sampai bosan. Seperti tidak ada habisnya, seperti lingkaran setan.

Memang seperti inilah keadaan kehidupan sosial yang membudaya di negara kita. Kata ‘kapan’ menjadi sebuah kebiasaan untuk memulai percakapan. Dahulu, teman saya pernah mengingatkan, “Cha (panggilanku), kalau nanti lo ketemu sama orang atau teman lama dan lo kelewat awkward dan bingung mau ngomong apa, lo langsung aja bilang, ‘Gimana?’ Karena kata gimana itu bisa banget untuk memulai semua percakapan. Gimana kabar, Gimana pekerjaan lo, gimana kehidupan, banyak pertanyaan yang bisa lo mulai dari kata gimana.” Itulah kata teman SMAku yang kuingat sampai sekarang, yang mungkin sekarang sudah berubah, diganti menjadi kata ‘Kapan’. Begitu banyak orang yang trauma terhadap kata kapan ini sampai banyak yang menghindari pertemuan keluarga, karena akan banyak percakapan yang dimulai dengan kata kapan, seperti “Kapan menikah? Kapan selesai kerja? Kapan pindah ke sini? Kapan nyicil rumah?” Sampai kita bingung sendiri kapan ini pertanyaan selesai (tuh kan ada kata Kapan lagi).

Jujur, kata kapan ini mulai pertama kali sering aku dengar waktu aku kuliah. “Kapan selesai kuliah?” mungkin  biasa dan menjadi penyemangat ya, jadi masih positif dan menjadi sebuah dukungan untuk aku. Namun, karena kebetulan aku mengambil kuliah di Kedokteran, kata ‘Kapan’ ini bisa membuatku sangat sedih. Aku yang setelah selesai skripsi dan Sarjana Kedokteran kembali dipertanyakan “Kapan jadi dokter?” dan dengan sedih bilang, “2 tahun lagi.” Dan hampir setiap orang yang menanyakan itu pasti berkata, “wah masih lama ya, sabar deh ya kalau gitu.” Dan loop ini berulang terus sampai aku juga jadi dokter, karena setelah jadi dokter pun aku masih dihadapkan dengan kata “Kapan buka praktek?” Yaampun….. benar-benar ga ada habisnya. Setelah praktek di rumah sakit dan dipindahkan ke luar Jawa, setiap aku pulang dan bertemu saudara-saudara pertanyaan itu pun masih berlanjut dan menjadi, “Kapan menikah?” Dalam hatiku, “WHAAATT?!” Belum kelar juga ini pertanyaan. Aku jamin, kalau ini menjadi sebuah kebiasaan 10 tahun lagi kata Kapan bisa mengalami perubahan makna jadi jelek (peyorasi).

Mungkin ini semua kesalahan dalam kebiasaan sosial kita. Salah bila kita mau memulai percakapan dengan kata ‘Kapan?’ Sudah saatnya kita berhenti menggunakan kata ini untuk basa-basi. Well, nowadays people get offended easily. Dan sudah waktunya juga kita menghentikan kebiasaan kita menanamkan kebiasaan zaman dahulu dan digunakan di jaman sekarang. Mungkin sadar ya, kalau kebanyakan yang nanya kapan adalah orang-orang yang lebih tua. Seperti pertanyaan “Kapan selesai kuliah?”, mungkin bisa menjadi penyemangat, tetapi banyak juga temanku dahulu yang sengaja telat selesai kuliah karena tujuan ingin cari seminar dan beasiswa sebanyak banyaknya mumpung masih berstatus mahasiswa. Maksudku, kita tidak boleh menanamkan kecenderungan yang ada ke semua orang, karena apa yang dialami orang banyak belum tentu sebuah kebaikan. Misalnya, jaman dahulu, menikah muda, umur 17 tahun dan semua juga menikah umur segitu. Hanya karena semua orang menikah umur segitu, apakah itu menjadi tolak ukur umur menikah? Nah, sudah waktunya kita menghilangkan kebiasaan yang dialami mayoritas orang menjadi tolak ukur. Seperti selesai kuliah 4 tahun tanpa pengalaman apapun, dengan kuliah 5 tahun dengan segudang  pengalaman berorganisasi, bersosialisasi, apakah tetap yang 4 tahun berarti lebih baik dan bisa jadi tolak ukur? This is not how it work anymore. Zaman dahulu, bermimpi tidaklah dilarang, tetapi orang cenderung berpasrah untuk menghadapi kehidupan. Kalau memang lahir di kampung, ya sudah menikah cepat, punya anak, bantuin suami. Namun, sekarang jaman sudah berubah, pria maupun wanita sudah mengenyam pendidikan yang sama, bahkan banyak perempuan juga yang pendidikannya sudah sangat tinggi. Generasi sekarang sudah memiliki mimpi dan visi dalam kehidupan, sudah tidak bisa disamaratakan dengan generasi sebelumnya. Kita yang sekarang tidak bisa disamakan dengan kebiasaan jaman dulu. Kita yang sekarang tidak lagi menjadikan ‘Pernikahan’ menjadi jalan pintas atau jalan keluar, tetapi menjadikannya jembatan untuk kehidupan penuh mimpi-mimpi baru. Jadi, solusinya adalah kita coba pelan-pelan menghilangkan penggunaan kata ‘kapan’ dalam percakapan, karena ini tidak akan ada habisnya. Manusia sekarang memiliki hak dan kebebasan, terutama untuk bermimpi, dan diperbolehkan untuk mewujudkan mimpinya, jangan sampai kebiasaan sosial kita menggiring kita untuk menahan diri kita untuk berkembang. Inilah siasatku setiap orang bertanya ‘Kapan’, karena aku masih memiliki segudang mimpi untuk diwujudkan dan kata ‘Kapan’ tidak akan menjadi batasan untukku.

IMG_4076.JPG“YANG DI BELAKANG SENANG??” Sometimes i just cant imagine an introvert and a shy one in public like me, can go out there, in front of almost 100 people and give presentation spontaneously (i mean i was accidentally chosen to gave presentation without any facilities and the topic is picked randomly and spontaneously). I mean, whenever i got the moment to think back, actually being a doctor really is somthin that unimaginable for a person like me. I mean, you need to talk in front of people like this, you need to know every kind of information whether its about diseases, drugs, and whatsoever, you need to have empathy towards other (dis is what i am really aware of- you know, if you saw lots- LOTS- of deaths and bloods in front of you, it..made you somehow accustomed-and sometimes i forgot, it is death we are talking about) and this is bad. Being a human being means you need to be aware and caring to others. You musnt have a cold heart its scary), you need to be brave, supportive, and positive so that the patient will getting better soon and must have the ability to talk face to face lol. And the hard one is whenever you check your atm account and its 😅😅 well at least i can still eat lol. Well maybe now i can gladly saying this if theres a person asking me, “Do you regret being a doctor? Your friend in previous collage and high school are settled at the same age as you but you just finally have your first official salary at 25 yo.” “Nope. Im blessed enough.” #tumbenpositif #besoknyesellagi #tumbenbukankuis #tumben #padahal6tahunpenuhnyinyirdanngeluh #beingadoctor

Jodoh hanya sebatas doa

Dua bulan menuju hari pernikahanku

dan saat ini aku hanya bisa menghitung hari

Hari-hari berlalu lebih cepat daripada biasanya

Bagaikan sedang memperebutkan siapa pemenang

juara lomba lari, antara hari-hari yang cepat berlalu

atau detak jantungku karena ketakutanku

“Nikah itu bukan jalan pintas!”, seruku kepada mama dan papa.

“Dek, kamu udah 25 tahun. Sudah lulus dokter, sudah dapat kerja. Kamu mau cari apa lagi?”

“Toh aku juga belum punya pacar, apalagi calon. Menikah ga semudah itu. Menikah kan untuk seumur hidup, apa mau aku pilih orang sembarangan yang penting status KTP ku jadi kawin?” tanyaku balik.

“Ngga gitu, nang. Kalau udah waktunya kamu juga bakal tahu. Nikah itu komitmen. Komitmen dan perjanjian. Perjanjiannya bukan ke suamimu, bukan ke keluarga, bukan ke teman-teman, dan semua tamu yang ada nanti. Pernikahan itu perjanjianmu, ke Tuhan. Karena itulah, di agama kita, tidak ada perceraian, karena yang berhak memisahkan itu hanya Tuhan. Nanti kamu pasti akan dipertemukan, dan pertemuan itu bisa lama, bisa tidak, yang penting tidak usah khawatir, karena Tuhan udah merancang hari-hari depanmu yang baik,” ujar papa panjang lebar sampai aku kaget ternyata pembicaraan ini seserius itu.


Kalau boleh reka ulang, aku akan ceritakan semuanya dari awal.

Semuanya bermula dari cerita ini:

Januari 2016

Aku adalah seorang Koas (ko-asisten) dokter atau dokter muda yang bertugas di salah satu rumah sakit umum daerah di Surakarta, yang merupakan rujukan pertama se-Jawa Tengah, dan rumah sakit tipe A (sekalian promosi). Setiap koas memiliki kelompok kecil, yang akan bertahan selama hampir dua tahun. Adapun kelompokku berisikan 5 orang yaitu, aku, Hanne, Nanda, Iin, dan Chika. Aku, Iin, dan Nanda, adalah teman lama, karena kami dipertemukan di suatu UKM pecinta alam fakultas. Kami berlima sama-sama satu angkatan, yaitu 2010, dan pada tahun 2014 kami mulai masuk koas.
Saat itu kalau tidak salah kami sedang stase mata, dan Iin menyerahkan sebuah bingkisan kepadaku.
“Apaan nih?” tanyaku. Padahal aku udah berfirasat, kalau itu pasti bahan baju buat jadi bridesmaid. “Jangan kasih ke aku, In. Masih banyak temanmu yang lebih dekat sama kamu dan lebih setia dan care,” kataku. Iin adalah temanku yang berusia dua atau tiga tahun lebih tua dari aku, yang sampai sekarang usianya pun masih misteri. Temannya dia banyaknya minta ampun, dari berbagai kalangan dan kelompok. Dia sangat aktif ikut-ikut kelompok dan organisasi penuh kegiatan gitu, makanya aku sampai sekarang salut dan bangga punya teman kayak dia.
“Yaudah sih ambil aja. Kan kalian teman-temanku yang paling deket ama aku sekarang ini.” balas Iin.
Pada akhirnya aku pun menerima bahan itu.
Iin adalah seseorang yang aku kira ga pernah punya beban untuk menikah. Aku sudah pernah dengar cerita dia bakal menikah, atau dikenalin, tapi gak tau akan secepat ini. You know, when your friend’s getting married, you feel so joyful and happy, but there’s also a sad feeling. Aku merasa sedih karena aku merasa cukup dekat dengan Iin. Kami sering jalan-jalan malam bersama, belajar bareng, dan banyak kegiatan yang kami lakukan bareng. Iin adalah salah seorang dengan kepribadian yang amat teramat baik menurutku. Sampai-sampai aku seringkali menghindari dia, karena self esteemku jatuh kalau bersanding dengan dia. Hampir semua orang kenal iin, jadi kalau kami berdua dan lewatin banyak orang itu, wah awkward. Because people only knew her LOL! And i’ll be smiling awkwardly, mati gaya. Haha. Pokoknya ada rasa sedih, kayak gimana dong kalau dia udah nikah aku ntar ga bisa kemana-mana lagi sama dia, dia udah jadi istri orang, dan banyak lagi ketakutan (Padahal pada akhirnya sampai sekarang pun masih suka kaget sendiri inget kalau dia udah menikah- habis dia LDR gitu jadi ga kerasa gitu juga aura udah nikahnya haha).

Dan saat acara pernikahannya aku belum merasakan apa-apa juga. Belum ada rasa, ‘duh semoga aku cepat nyusul’, atau ‘kayaknya nikah enak ya’ dan lainnya. Belum. Dulu aku masih teguh pada prinsipku, kalau Nikah bukanlah jalan pintas. Masih banyak mimpi-mimpi yang hanya bisa aku wujudkan sendiri. Sayang kalau aku menikah dan banyak impianku yang tidak jadi kucapai. Achievement yang bisa kulakukan sendiri masih banyak dan banyak yang belum kulakukan sendiri.

Yah tapi itu ya pemikiran dulu. Dulu.
Setelah itu semakin banyak lagi menyusul teman-teman dekatku yang menikah, dan aku pada Mei 2016, tepatnya saat aku dirayakan ulangtahunnya, aku pun mendeklarasikan sesuatu.
“Udah berisik amat deh pada doain semoga cepet nikah cepet punya pacar. Tenang aja lo pada, gw nikah tahun depan!” seruku kepada teman-temanku. Waktu itu, ada nina, nia, atun, iin, vanny, nanda. Mungkin diantara mereka ada yang bilang amin. mungkin. ya mungkin.
Lucunya, mulai dari Mei 2016 ini, setiap ada pertemuan dan percakapan yang mengungkit-ungkit tentang pernikahan seperti ini, aku selalu bilang “Tenang aja, tahun depan gw nikah”, padahal aku belum punya pacar, apalagi calon suami.

Awal 2017

Salah satu adik kelas dan teman dan teman dekatku dan teman busukku dan supirku dan ojekku dan kesayanganku, yang bernama Atun akan menikah pada april 2017. Aku yang sudah menjadi dokter dan menjalani internship/magang di salah satu RSUD di kalimantan selatan pun sedih. Pusing karena ga bisa datang ke nikahannya. Dan sedih, kenapa secepat itu. And again, a piece of my heart just died hearing the news. I’m happy, uber happy, tapi sedih karena tidak ada teman sederajat-sestatus lagi. Dan Atun menikah dengan cara yang sama seperti Iin. Dikenalkan, cocok, pendekatan, menikah. Dan keduanya punya perbedaan usia yang lumayan berjarak dengan suaminya.
Bahkan sampai Atun menikah (april 2017), aku masih belum punya calon, belum punya pacar. Tapi saat itu aku sudah bertemu dengan sesosok lelaki, yang sudah menghiasi kotak sms dan wa hpku, tetapi tidak pernah kugubris selama satu tahun.

 

[bersambung]

Mayoutfit rekomendasiku
Mengajar Perilaku Hidup Bersih Sehat

 

 

Lesson of the day: sekeras kerasnya kamu berteriak di depan anak-anak, pada akhirnya kamu tetap kalah dan suaramu pun makin kecil. Kalau diingat-ingat masa sd ane cukup berwarna. Tiap naik kelas ada aja masalahnya. Kelas dua, dipanggil guru karena belum bisa nulis (maklum kecepetan masuk jadi umur masih 6 tahun) terus dilesin menulis selama setahun (wajar aja tulisan ane jelek ampe sekarang). Kelas 3 pipis di celana padahal seminggu sebelumnya ngeledekin ketua kelas ane yang poop di celana (wkwk skrg dia jadi dokter juga). Kelas 4, dipanggil wali kelas karena ane dikambinghitamkan oleh sosok tak bertanggung jawab dan ane dituduh membuat isu/gosip bahwa wali kelas ane disogok oleh teman ane yg anak pindahan baru makanya dia tiba2 dapat ranking teratas (padahal ane dulunya orang yg cukup sering ga masuk sekolah dan ga pernah ikut ngambil raport jd sebodo amat masalah ranking. Gila sd aja dah drama). Tapi tetap ane tertuduh dan diminta meminta maaf. Kelas 5, masa-masa paling banyak ngerasain sakitnya dipukul pakai penggaris kayu yang panjangnya 1.5 meter dan tebalnya duhh ampun deh. Dipukul pertama (belasan kali) karena tidak pada posisi siap dan goyang2 pas upacara bendera. Dipukul kedua karena pas baris berbaris ke kelas goyang-goyang (lagi) dan ditarik ama suster. Habis ane dinangisin suster (you know lah ajaran katolik) dan ga masuk kelas dari jam 8-1 siang lol. Kelas 6, ga banyak kenangan, kayaknya karena banyak ga masuk kelas et causa lebih suka belajar sendiri di rumah (eaa). Overall, banyak manis (tapi ga begitu ingat) banyak pahitnya (tp terekam dlm memori dan jadi lelucuan). Dan selalu bermasalah mengenai kedisiplinan wkwk. Dan meskipun didikan waktu SD (terutama di sekolah katolik) cenderung keras, mungkin tidak apa karena memang niatnya demi kebaikan anak sendiri, jadi jangan sampai anak gak hormat sama gurunya. Tapi memang ajaran di SD itu adalah dasar dari perilaku dan mental kita yang dibawa sampai tua nanti. Karena itu, didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu (ams‬ ‭22:6‬) #instadiary #reminiscing